Komunikasi Produktif: Seni Bicara dan Mendengar

Bismillahirrahmanirrahiim....

Wow, permainan di Kelas Bunda Cekatan kian menantang! Minggu ini saya cukup kewalahan karena harus menyuguhkan potluck (makanan bergizi untuk teman-teman lainnya) dalam bentuk audio ataupun audiovisual. Kalau minggu lalu bentuknya tulisan, ya. Minggu ini saya agak oleng karena belum menguasai kedua media tersebut. Alhamdulillah potluck saya yang berjudul "5 Tips Melatih Kemandirian Anak dalam Berpakaian" telah rampung dan bisa teman-teman lihat di sini. Selamat menikmati!

Bicara potluck tentu tidak jauh-jauh dengan makanan, ya. Makanan saya minggu ini adalah tentang komunikasi produktif khususnya dengan anak, yang saya ambil dari tiga potluck teman-teman di Kelas Bunda Cekatan (referensi akan saya cantumkan di akhir tulisan). Kenapa potluck "komunikasi produktif pada anak" yang saya makan? Hal ini berhubungan dengan peta belajar saya. Aktivitas yang ingin saya dalami salah satunya adalah membangunkan anak-anak lebih pagi. Karena itulah saya pun membutuhkan potluck ini.


Komunikasi itu identik dengan bicara, ya. Suka kesal kan ya kalau bicara enggak didengar? Atau siapa yang suka nyeletuk macam saya, "Tuh kan, Bunda kan dari tadi sudah bilang begitu..."? Terus ujungnya alis si Bunda ini kereng, wakakakk. Ternyata,
"Komunikasi bukan ditekankan pada apa yang kita sampaikan, tapi apa yang kita tangkap dari lawan bicara kita."

Habis mendengarkan kalimat di atas, baru deh ngeh, pantesan selama ini kok suka berasap ngomong sama krucils, ya metodenya salah. Saya terlalu mengedepankan apa yang saya sampaikan, bukan 'anak ini ngerti gak ya omongan si Bunda kok reaksinya begitu?' Dan mengulangi lagi pesan yang disampaikan dengan deretan kalimat yang lebih panjang. Semakin gak mudeng lah ya anak, teh. Haisshh ... baru aja tersadar kalau ternyata komunikasi produktif itu adalah seni berbicara dan mendengar.

Ada beberapa faktor yang dapat menghambat komunikasi positif (komunikasi yang menyenangkan) dengan anak, yaitu:
1. Masih menerapkan pola asuh tradisonal
Aduh, menohok banget bagian ini karena ternyata ada banyaakk sekali pola asuh tradisional yang masih saya anut, seperti menginterogasi kegiatan menonton TV krucils di rumah neneknya, menceramahi kalau krucils susah dibilangin, juga menyalahkan (ini kejadian kalau saya terlambat karena krucils susah dibangunkan, misalnya). PR banget ini, huhuu..

2. Tidak pandai mendengar lawan bicara
Ini seperti yang telah saya bahas sebelumnya, ya, dimana Askana kadang protes ketika saya memotong ceritanya yang belum selesai. Hal ini yang membuat saya ingin mengetahui lebih jauh mengenai ilmu mendengarkan dan menyimak. Dari potluck minggu ini juga saya menemukan tips untuk menjadi pendengar yang baik, yaitu:
a. Sabar mendengarkan cerita hingga akhir;
b. Berikan feedback berupa nama emosi yang anak rasakan;
c. Bantu anak melabeli rasa yang dialaminya dengan cara mengulang kembali perkataannya. Misalnya, si anak berteriak kesal saat pulang sekolah, maka respon yang sebaiknya kita ungkapkan, "Oh, Kakak kesal, ya? Kenapa, Sayang?" Bukan malah menimpali, "Kenapa, sih, datang-datang kok marah-marah..."

3. Tidak memahami perasaan lawan bicara
Dari ilmu mendengar yang saya pelajari, ternyata mendengar itu tidak cukup dengan telinga, tapi juga membutuhkan seluruh anggota tubuh kita untuk fokus. Pantas, ya, ini kalau mamak-mamak curhat panjang lebar, kesel beuttt kalau suaminya cuma menanggapi dengan, "Hemmh..." sambil main HP, wakakakk. Padahal, kebanyakan dari kita justru berbicara bukan untuk mencari solusi, tapi hanya butuh untuk didengarkan. Siapa yang setuju? Cung!

4. Pembicaraan terlalu panjang dan lebar
Nah ini, rentang konsentrasi anak itu berbeda dengan orang dewasa. Tapi, oh ... tapi, kalau Adia enggak menangkap omongan si Bunda, malah si Bunda ini nyerocos dengan kalimat yang lebih panjang. Duh, maaf, ya, Nak....

Dari potluck Mbak Kiki, ada beberapa tips berkomunikasi dengan anak, yaitu:
1. Mendekat kepada anak saat bicara dengan menyejajarkan posisi kita pada anak
2. Beri batasan waktu, misal "Waktu mainnya lima menit lagi, ya!"
3. Berbicara melalui cerita atau imajinasi. Contohnya, saat meminta anak-anak merapikan mainan, kita bisa bilang kepada anak-anak, "Ayo, Pasukan Oranye, siap beraksi?"
4. Memberikan julukan khusus pada anak. Misalnya, saat ada keributan, kita bicara pada si sulung, "Kakak Askana ini Pemimpin bagi Adia. Seorang pemimpin juga harus menyayangi pasukannya."

Wah, banyak sekali pembelajaran tentang komunikasi pada anak yang saya dapat minggu ini. Jadi enggak sabar untuk praktik berkomunikasi dengan para krucils. Meski banyaakk sekali yang harus diperbaiki, tapi semoga si Bunda ini enggak berasap, ya, demi anak-anak yang bahagia.


Referensi:
1. "Komunikasi pada Anak" oleh Syarifah Aini melalui https://anchor.fm/syarifah-aini1/episodes/KoMUNIKASI-Pada-Anak-eaeot7;
2. "Komunikasi dengan Anak" oleh Kiki Puspitasari melalui https://m.youtube.com/watch?v=ZKodXPtY0Ow&feature=youtu.be;
3. "Belajar Mendengar dengan Sepenuh Hati" oleh Ardaniya Rizka melalui https://drive.google.com/file/d/1drBXuzFmi6TqQSOThEuQTF9q-X1qL2DZ/view.



#janganlupabahagia #jurnalminggu2 #kelasulatulat #bundacekatan1 #buncekIIPbatch1 #institutibuprofesional

Komentar

Postingan populer dari blog ini

How I Met My Husband

Hal Besar Dimulai dari Langkah Kecil

Lima Tips yang Perlu Diperhatikan Orang Tua saat Memilih Sekolah Anak