Hikmah Dibalik Baby Blues
Bismillahirrahmannirrahiim...
Teman-teman, tahu gak kalau saya dulu mengalami baby blues setelah melahirkan Askana?
Mungkin tidak ada yang tahu, bahkan ayah Askana pun sepertinya tidak menyadari. Qadarullah, setelah melahirkan Askana saya tidak diizinkan untuk tinggal di rumah mama--layaknya kebanyakan ibu lainnya--yang ingin lebih dekat dengan ibunya. Padahal, bisa dibilang jarak bukanlah masalah karena saya tinggal di Jakarta dan mama tinggal di Bogor. Maka, setelah saya pulang ke rumah untuk pertama kalinya, itu adalah momen yang tidak bisa saya lupakan. Mama bilang, "Sabar, ya, neng ... mama sudah minta izin bawa Agis ke Bogor tapi tidak dibolehkan. Agis pasti bisa!" Lalu mama menciumi saya dengan tangisnya. Saya pun menangis tidak kalah hebat sambil memegang si kecil Askana. Luka fisik saya sehabis operasi sectio rasanya tidak berarti dibanding dengan luka batin yang saya rasakan. Ada satu hal yang selalu saya tanyakan: Kenapa saya yang hanya ingin tinggal di rumah mama tidak diizinkan?
Hari berganti. Saya sebagai ibu baru yang menghadapi segala hal yang serba baru semakin panik saat Askana mengalami masalah dengan pencernaannya. Meski ditemani dengan sepupu, namun rasanya saya masih haus akan keberadaan mama. Mama mertua juga sering berkunjung, tapi juga tidak membuat hati saya tenang. Suami juga sudah disibukkan dengan rutinitas kantor, sehingga saya merasa tidak mempunyai teman bicara.
Apa yang terjadi kemudian? Saya melampiaskannya pada Askana. Saya membentak Askana ketika ia menangis. Itu terjadi satu kali dan beruntung hanya sebatas itu. Allah masih melindungi saya dari melakukan perbuatan yang dapat melukai fisik Askana. Akibat kejadian itu saya menyesal hingga saat ini.
Setelah itu, saya menyadari bahwa saya tetap harus menjaga kewarasan saya. Saya harus mulai kembali berdamai dengan diri saya sendiri. Saya mulai menata hati untuk menjalani hidup seminggu demi seminggu. Saya itu saya berpikir, saya harus kuat menjalani hari Senin-Jumat saja karena di hari Sabtu saya akan bermanja dan bercerita banyak hal pada mama (mama saat itu masih aktif bekerja, namun selalu menyempatkan diri menengok saya di hari Sabtu dan Minggu). Begitu terus, dan saya mulai bersemangat kembali. Saat Adia lahir, saya sudah lebih santai menjalaninya meski masih tanpa asisten dengan dua anak.
Askana dan Adia sedang bermain ojek online
Saya ibu yang bekerja di ranah publik. Hampir setiap hari saya mengantar dan menjemput anak-anak sejak mereka bayi. Saya pernah menangis menahan lapar karena anak-anak tidak mau ditinggal untuk memasak. Iya, karena tidak ada asisten, semua pekerjaan rumah pun menunggu untuk dibelai, termasuk saya baru bisa makan asalkan saya masak (dulu belum ada ojek online yang bisa belikan makanan, ya).
Tahukah Teman-teman? Saya mendapat jawaban atas pertanyaan saya waktu itu sekitar lima tahun kemudian. Allah memang memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Setiap hari saya selalu berdoa agar Allah tidak meninggalkan satu urusan pun kepada saya tanpa pertolongan dariNya. Percaya, deh, itu obat yang mujarab.
Banyak teman-teman yang melontar pujian pada saya saat melihat rutinitas saya. Dan sekaranglah saya bercerita jatuh bangunnya saya dahulu untuk menjadi saya yang sekarang. Tidak mudah, tapi memang harus bangkit jika memang tidak ingin semakin terpuruk.
Sekarang, saya bisa tersenyum lebar karena saya tahu itu adalah takdir Allah untuk membuat saya lebih kuat setiap harinya. Mungkin cerita saya masih jauh sekali dibandingkan dengan kisah yang Teman-teman alami. Namun, satu tips dari saya, jika di dalam benak Teman-teman mulai timbul pertanyaan "Kenapa?" atas apa yang terjadi, maka adukanlah hanya pada Dia Sang Penetap Takdir.
#Writober #RBMIPJakarta #IbuProfesionalJakarta
Teman-teman, tahu gak kalau saya dulu mengalami baby blues setelah melahirkan Askana?
Mungkin tidak ada yang tahu, bahkan ayah Askana pun sepertinya tidak menyadari. Qadarullah, setelah melahirkan Askana saya tidak diizinkan untuk tinggal di rumah mama--layaknya kebanyakan ibu lainnya--yang ingin lebih dekat dengan ibunya. Padahal, bisa dibilang jarak bukanlah masalah karena saya tinggal di Jakarta dan mama tinggal di Bogor. Maka, setelah saya pulang ke rumah untuk pertama kalinya, itu adalah momen yang tidak bisa saya lupakan. Mama bilang, "Sabar, ya, neng ... mama sudah minta izin bawa Agis ke Bogor tapi tidak dibolehkan. Agis pasti bisa!" Lalu mama menciumi saya dengan tangisnya. Saya pun menangis tidak kalah hebat sambil memegang si kecil Askana. Luka fisik saya sehabis operasi sectio rasanya tidak berarti dibanding dengan luka batin yang saya rasakan. Ada satu hal yang selalu saya tanyakan: Kenapa saya yang hanya ingin tinggal di rumah mama tidak diizinkan?
Hari berganti. Saya sebagai ibu baru yang menghadapi segala hal yang serba baru semakin panik saat Askana mengalami masalah dengan pencernaannya. Meski ditemani dengan sepupu, namun rasanya saya masih haus akan keberadaan mama. Mama mertua juga sering berkunjung, tapi juga tidak membuat hati saya tenang. Suami juga sudah disibukkan dengan rutinitas kantor, sehingga saya merasa tidak mempunyai teman bicara.
Apa yang terjadi kemudian? Saya melampiaskannya pada Askana. Saya membentak Askana ketika ia menangis. Itu terjadi satu kali dan beruntung hanya sebatas itu. Allah masih melindungi saya dari melakukan perbuatan yang dapat melukai fisik Askana. Akibat kejadian itu saya menyesal hingga saat ini.
Setelah itu, saya menyadari bahwa saya tetap harus menjaga kewarasan saya. Saya harus mulai kembali berdamai dengan diri saya sendiri. Saya mulai menata hati untuk menjalani hidup seminggu demi seminggu. Saya itu saya berpikir, saya harus kuat menjalani hari Senin-Jumat saja karena di hari Sabtu saya akan bermanja dan bercerita banyak hal pada mama (mama saat itu masih aktif bekerja, namun selalu menyempatkan diri menengok saya di hari Sabtu dan Minggu). Begitu terus, dan saya mulai bersemangat kembali. Saat Adia lahir, saya sudah lebih santai menjalaninya meski masih tanpa asisten dengan dua anak.
Askana dan Adia sedang bermain ojek online
Saya ibu yang bekerja di ranah publik. Hampir setiap hari saya mengantar dan menjemput anak-anak sejak mereka bayi. Saya pernah menangis menahan lapar karena anak-anak tidak mau ditinggal untuk memasak. Iya, karena tidak ada asisten, semua pekerjaan rumah pun menunggu untuk dibelai, termasuk saya baru bisa makan asalkan saya masak (dulu belum ada ojek online yang bisa belikan makanan, ya).
Tahukah Teman-teman? Saya mendapat jawaban atas pertanyaan saya waktu itu sekitar lima tahun kemudian. Allah memang memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Setiap hari saya selalu berdoa agar Allah tidak meninggalkan satu urusan pun kepada saya tanpa pertolongan dariNya. Percaya, deh, itu obat yang mujarab.
Banyak teman-teman yang melontar pujian pada saya saat melihat rutinitas saya. Dan sekaranglah saya bercerita jatuh bangunnya saya dahulu untuk menjadi saya yang sekarang. Tidak mudah, tapi memang harus bangkit jika memang tidak ingin semakin terpuruk.
Sekarang, saya bisa tersenyum lebar karena saya tahu itu adalah takdir Allah untuk membuat saya lebih kuat setiap harinya. Mungkin cerita saya masih jauh sekali dibandingkan dengan kisah yang Teman-teman alami. Namun, satu tips dari saya, jika di dalam benak Teman-teman mulai timbul pertanyaan "Kenapa?" atas apa yang terjadi, maka adukanlah hanya pada Dia Sang Penetap Takdir.
"Tidaklah seorang Muslim berdoa yang tidak mengandung dosa dan tidak bertujuan memutus silaturahmi, melainkan Allah SWT akan mengabulkannya dengan tiga cara; (1). Allah akan mengabulkan doanya sesegera mungkin, (2). Allah akan menyimpan (menjadikannya pahala) baginya di akhirat kelak, dan (3). Allah akan menjauhkan darinya kejelekan. Mereka (para sahabat) berkata: “Kalau begitu, kami akan memperbanyak berdoa.” Nabi SAW lantas berkata: “Allah akan banyak menjawab doa-doa kalian.” (HR. Ahmad)
#Writober #RBMIPJakarta #IbuProfesionalJakarta
Komentar
Posting Komentar