Passion (Saya) yang Terkungkung

Passion. Apa yang kira-kira terbersit dalam pikiran, Teman-teman?

Saya kadang bertanya dalam hati, "Apa, ya, passion saya?" Terus malah bingung mikir jawabannya, hehe. Mungkin saya masuk kategori orang yang telat mengembangkan minat. Biasa saja. Suka mencoba banyak hal, tapi bukan termasuk orang yang ahli dalam suatu hal. Bukan juga termasuk orang yang berbinar-binar karena mengerjakan sesuatu. Flat. Menyedihkan? Iya, memang. Saat sekolah kita memang belajar banyak mata pelajaran, ya. Kita dituntut bisa di semua mata pelajaran. Memang enggak ada yang memaksa, sih, tapi siapa yang ngalamin ikutan remed di mata pelajaran/mata kuliah tertentu? Sini, ngacung bareng saya! Hehe.. Dan kalau ternyata ikutan remed, malunya bukan kepalang. Ada sanksi sosial di sana. Saya ingat sekali waktu itu sahabat baik saya harus mengikuti ujian ulang mata kuliah Fisika Umum di tahun pertama. Akhirnya, ia memutuskan untuk menginap di rumah saya, belajar semalam suntuk. Bukankah itu artinya kita memang dipaksa untuk bisa?

Setelah saya ikut program matrikulasi di Ibu Profesional, barulah saya menyadari bahwa:
"Seharusnya kita meninggikan gunung, bukan meratakan lembah."
Artinya, manusia memang sudah fitrahnya memiliki kelebihan dan kekurangan. Nah, seharusnya kita berfokus saja pada kelebihan kita, tidak usah mati-matian mengejar hal yang kita enggak bisa. Lalu, apa saya menyalahkan sistem pembelajaran yang dulu? Tidak, karena memang dulu kita hanya mengenal sistem seperti itu. IPK saya sangat memuaskan, tapi apakah saya pandai dalam semua mata kuliah? Secara administratif iya, tapi secara aplikatif bisa dibilang tidak.

Alhamdulillah sekarang sudah banyak informasi yang dapat saya gali, khususnya di dunia pendidikan dan pengasuhan anak. Pada bulan September tahun 2018, saya dan suami berkesempatan untuk mengikuti workshop Pandu 45 dengan fasilitator Ibu Septi Peni Wulandani dan Bapak Dodik Maryanto, founder dan co-founder Ibu Profesional. Dalam kesempatan itu, kami diajari untuk memetakan minat dan bakat anak, yang kemudian akan dikembangkan lebih mendalam. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan, namun utamanya adalah observasi dari orang tua dalam segala aktivitas yang dilakukan si anak. Observasi, tentu tidak dilakukan dalam waktu singkat seperti tes minat dan bakat. Observasi bisa dilakukan bertahun-tahun sejak anak mulai bisa berkomunikasi dua arah. Observasi dilakukan atas semua ragam kegiatan yang diberikan kepada anak. Ragam kegiatan, loh, ya ... karena bisa jadi anak tidak suka telur karena ia tidak pernah diberikan telur (mungkin orang tuanya bilang telur itu bau amis dan lain sebagainya hingga anak tidak mau mencobanya). Prinsipnya, anak diperkenalkan dengan banyak aktivitas, baru kemudian orang tua mengamati respon si anak dalam aktivitas tersebut. Rencananya, saya akan memulai observasi ini di tahun ini dan mencatat semua reaksi Askana dan Adia, tapi apa daya hingga triwulan ketiga belum juga ada itu buku pengamatannya, wakakakk..

Untuk Askana, saya sudah mulai melihat kegemarannya menulis cerita. Ia senang membaca dan menulis. Dua kegiatan ini akan menjadi catatan agar saya dapat mengeksplor lebih jauh lagi. Askana juga memiliki rasa empati yang tinggi. Hal ini terlihat saat ia mengajukan diri menjadi perwakilan kelas untuk memberikan amal ke Yayasan Onkologi Anak Indonesia (YOAI). Di sana, Askana juga mengangkat tangan memberanikan diri untuk bernyanyi tanpa diminta. Ia mencoba menghibur anak-anak yang menderita kanker saat kunjungan ke YOAI hari Sabtu lalu. Untuk Adia, saya masih perlu observasi lebih jauh. Mungkin karena Adia masih kecil, ya, jadi belum begitu terlihat minat dan bakatnya. Terkadang, Adia melakukan sesuatu karena bujukan kakaknya, bukan atas kemauannya sendiri.


Tulisan Askana dalam Buku Jurnalnya


Iya, saya memang ingin anak-anak tidak menjadi seperti saya. Saya ingin mereka lebih bahagia melakukan sesuatu, terbebas dari indikator penilaian sekolah, sanksi sosial, framing orang tua, atau apalah itu. Apakah egois? Saya rasa tidak karena saya ingin mereka bisa mengembangkan apa-apa yang mereka sukai dengan bahagia. Bagaimana dengan Teman-teman? Selamat mengamati perkembangan anak-anak, ya! Semoga mereka selalu bahagia dalam mengeksplor minat dan bakatnya.


================

Dua minggu lalu, sehabis pembagian rapot, Askana membuka pembicaraan saat kami sedang berjalan berdua....
Askana: "Bunda, Bunda bangga sama Kakak?"
Saya: "Bangga, dong...."
Askana: "Bunda bangga karena kakak bisa dalam pelajaran?"
(Di sekolah Askana, saat pembagian rapot anak-anak diminta mempresentasikan apa yang ia pelajari selama satu term dihadapan orang tua dan guru. Askana bisa melakukannya dengan sangat baik. Tidak ada catatan dari seluruh guru mata ajaran umum maupun khusus)
Saya: "Emmh, enggak..."
Askana cemberut.
Saya: "Bunda bangga karena Kakak bahagia untuk belajar."
Senyumnya mengembang, matanya berbinar-binar.
Askana: "Yuk, Bunda ... kita lihat rapot Kakak, nilainya bagus atau enggak, ya?" (rapot Askana diberikan secara online)
Saya: "Sekarang enggak penting lagi, Kak. Bagi Bunda, Kakak melakukan sesuatu dengan bahagia itu sudah cukup karena banyak sekali orang terpaksa belajar tapi dia tidak bahagia."
...

Dan hingga liburan sekolahnya usai pun, saya belum mengakses rapot Askana.


#Writober #RBMIPJakarta #IbuProfesionalJakarta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

How I Met My Husband

Lima Tips yang Perlu Diperhatikan Orang Tua saat Memilih Sekolah Anak

Joker: Seorang Pribadi yang Penuh Luka