Ukur Diri Agar Tidak Gampang Stres
Bismillahirrahmannirrahiim....
Tahu enggak Teman-teman, apa yang biasanya bikin seorang ibu gampang stres? Perfeksionis. Ups, enggak semua sifat perfeksionis itu mengakibatkan stres, sih (bisa digebukin para mamak ini), tapi yang jadi masalah adalah ketika kita menetapkan standar yang enggak bisa kita capai. Jadi, mau gimana usaha juga kalau gak bisa, ya sampai jungkir balik juga tetap gak bia. Ujung-ujungnya stres. Btw, ini pengalaman pribadi, sih, ya.
Dulu, waktu Askana bayi, saya masih mengerjakan semuanya sendiri. Ya jemput Askana di daycare sampai bermacet-macetan, pulang ke rumah masih harus nyetrika dan masak kalau enggak ada makanan, terus besok paginya harus nyuci baju dan jemur, bikin sarapan, plus ditambah harus banget bangun dini hari untuk menyetop ASIP. Kalau weekend harus ngepel dan nyabutin rumput di halaman. Alhasil, menjelang usia Askana 6 bulan, produksi ASIP nyungsep dan saya bela-belain ke konselor laktasi. Pada awal sesi konsultasi, saya diminta untuk menceritakan segala aktivitas saya. Barulah di situ dikasih tahu bahwa aktivitas saya terlalu padat merayap sehingga memicu stres. Sejak saat itu, saya mulai belajar menjalani hidup dengan lebih santai.
Saat Askana sudah mulai berjalan, kami memutuskan untuk mencari asisten rumah tangga, paling enggak untuk mencuci dan menyetrika. Sudah ada beberapa orang yang datang ke rumah, tapi rupanya mungkin karena saya dan suami tipe orang yang risih kalau ada orang asing di rumah ... kami akhirnya memutuskan untuk tidak menggunakan jasa asisten rumah tangga. Akhirnya, saya bicara ke suami kalau saya sangat kewalahan dengan cucian yang menumpuk. Mencuci tidak begitu masalah sebenarnya, tapi menyetrika itu sungguh sangat menyita waktu, wakakakk. Pekerjaan rumah lainnya saya masih bisa handle. Alhamdulillah, saat itu suami mengambil alih beberapa pekerjaan rumah. Suami berinisiatif memasukkan baju kotor kami ke laundry, dengan begitu kedua pekerjaan rumah itu dapat diatasi. Untuk membersihkan halaman, suami meminta tukang kebun untuk datang ke rumah. Katanya, yang terpenting adalah Askana, jadi saya fokus saja pada Askana. Ah, love banget!
Begitu pun saat Adia lahir. Awalnya saya sakit hati begitu orang terdekat bilang, "Rumah kok kayak kapal pecah!" Baper, wakakakk..terus ngedumel dalam hati, "Gak tahu apa ribetnya ngurus dua anak dan segala sesuatunya sendirian? Anak-anak perkembangannya baik, tapi kok ya enggak dilihat bagian itunya, yang diprotes malah kondisi rumah. Terus harus gimana atuh, masa enggak boleh tidur, beberes terus demi rumah yang gak kayak kapal pecah?" Lalu, mengeluhlah yaa saya sama si ayah. Biasalah, merepet panjang kali lebar. Mulai juga muncul perasaan bersalah karena si Bunda ini enggak bisa ngurus rumah. Uhuks! Ya emang beberes masuk dalam ranah yang tidak disukai tetapi harus dilakukan, gimana coba? Jadi kalaupun saya beberes itu pasti enggak kelar-kelar. Wakakakk, tetap ya pembelaan. Si ayah mah malah santai menanggapi dengan bilang, "Rumah berantakan ada masanya, nanti kita kangen, loh, kalau rumah enggak berantakan lagi." Jadilah saya lebih santai juga, sabodo amat orang mau ngomong apa, yang penting mah si Ayah sudah ridha, hehe. Terus sekarang kalau sudah berantakan banget, eh dia orderin orang yang bisa bantu beberes via aplikasi, "Biar Bunda enggak capek, Ayah orderin, ya. Bunda butuh berapa orang untuk bantu Bunda?" Gimana enggak makin cinta coba?
Saat tetangga sebelah main ke rumah....
Alhamdulillah Allah kasih suami yang pengertian. Saya hanya tinggal mengukur diri saja. Sanggup atau tidak. Pernah kalau lagi luang dan rajin beberes, sampai lewat tengah malam juga dilakukan. Tapi, kalau saya sudah bilang, "Bunda enggak sanggup, Yah!" dijamin si Ayah yang akan ambil alih. Flashback ke awal pernikahan, saya menyerah untuk handle keuangan. Wakakakk, parah, ya! Sebelum menikah saya pernah mencatat flow keuangan saya, terus kapok karena defisit. Setelah itu enggak pernah catat-catat lagi. Lalu, punya suami seorang financial planner bersertifikat, sayang kan kalau enggak diberdayakan? Hahaa...
Begitulah hidup, kita hanya perlu mengukur diri dan merasa bahagia dengan apa yang dijalani. Jangan ngoyo mencapai sesuatu kalau kita sendiri enggak mampu. Jangan, daripada membebani pikiran dan malah jadi enggak waras, ya kan? Lakukan saja apa yang kita bisa dengan bahagia. Kalau beberes saya juga tetap melakukannya hanya saja saya menurunkan standar. Tidak mungkin rumah selalu rapi, padahal anak-anak sebegitu aktifnya. Seperti kata si Ayah, in sya Allah nanti ada masanya rumah kami selalu rapi.
=================
Saya: "Ayah, lihat deh, begitu kali ya, kalau punya anak laki-laki? Bunda harus siap ngejar sana-sini."
Suami: "Iya," sambil nyengir lebar.
Saya: "Makanya Allah kasihnya dua anak perempuan, ya, Yah, karena memang Bunda enggak sanggup itu jagainnya. Bayangin kalau ada dua yang kayak begitu.."
Suami: ngakak
Di waktu lain,
Suami: "Ya Ayah kan gak bisa (maaf) cebokin anak-anak. Nanti deh kalau anaknya laki-laki ayah yang bersihin." (selama ini memang hanya saya yang handle urusan begituan)
Saya: "Serius? Bener, yaaa. Kok Bunda enggak yakin, ya? Mungkin karena itu ya Allah belum kasih anak laki-laki."
Suami & saya: ngakak berbarengan
#Writober #RBMIPJakarta #IbuProfesionalJakarta
Tahu enggak Teman-teman, apa yang biasanya bikin seorang ibu gampang stres? Perfeksionis. Ups, enggak semua sifat perfeksionis itu mengakibatkan stres, sih (bisa digebukin para mamak ini), tapi yang jadi masalah adalah ketika kita menetapkan standar yang enggak bisa kita capai. Jadi, mau gimana usaha juga kalau gak bisa, ya sampai jungkir balik juga tetap gak bia. Ujung-ujungnya stres. Btw, ini pengalaman pribadi, sih, ya.
Dulu, waktu Askana bayi, saya masih mengerjakan semuanya sendiri. Ya jemput Askana di daycare sampai bermacet-macetan, pulang ke rumah masih harus nyetrika dan masak kalau enggak ada makanan, terus besok paginya harus nyuci baju dan jemur, bikin sarapan, plus ditambah harus banget bangun dini hari untuk menyetop ASIP. Kalau weekend harus ngepel dan nyabutin rumput di halaman. Alhasil, menjelang usia Askana 6 bulan, produksi ASIP nyungsep dan saya bela-belain ke konselor laktasi. Pada awal sesi konsultasi, saya diminta untuk menceritakan segala aktivitas saya. Barulah di situ dikasih tahu bahwa aktivitas saya terlalu padat merayap sehingga memicu stres. Sejak saat itu, saya mulai belajar menjalani hidup dengan lebih santai.
Saat Askana sudah mulai berjalan, kami memutuskan untuk mencari asisten rumah tangga, paling enggak untuk mencuci dan menyetrika. Sudah ada beberapa orang yang datang ke rumah, tapi rupanya mungkin karena saya dan suami tipe orang yang risih kalau ada orang asing di rumah ... kami akhirnya memutuskan untuk tidak menggunakan jasa asisten rumah tangga. Akhirnya, saya bicara ke suami kalau saya sangat kewalahan dengan cucian yang menumpuk. Mencuci tidak begitu masalah sebenarnya, tapi menyetrika itu sungguh sangat menyita waktu, wakakakk. Pekerjaan rumah lainnya saya masih bisa handle. Alhamdulillah, saat itu suami mengambil alih beberapa pekerjaan rumah. Suami berinisiatif memasukkan baju kotor kami ke laundry, dengan begitu kedua pekerjaan rumah itu dapat diatasi. Untuk membersihkan halaman, suami meminta tukang kebun untuk datang ke rumah. Katanya, yang terpenting adalah Askana, jadi saya fokus saja pada Askana. Ah, love banget!
Begitu pun saat Adia lahir. Awalnya saya sakit hati begitu orang terdekat bilang, "Rumah kok kayak kapal pecah!" Baper, wakakakk..terus ngedumel dalam hati, "Gak tahu apa ribetnya ngurus dua anak dan segala sesuatunya sendirian? Anak-anak perkembangannya baik, tapi kok ya enggak dilihat bagian itunya, yang diprotes malah kondisi rumah. Terus harus gimana atuh, masa enggak boleh tidur, beberes terus demi rumah yang gak kayak kapal pecah?" Lalu, mengeluhlah yaa saya sama si ayah. Biasalah, merepet panjang kali lebar. Mulai juga muncul perasaan bersalah karena si Bunda ini enggak bisa ngurus rumah. Uhuks! Ya emang beberes masuk dalam ranah yang tidak disukai tetapi harus dilakukan, gimana coba? Jadi kalaupun saya beberes itu pasti enggak kelar-kelar. Wakakakk, tetap ya pembelaan. Si ayah mah malah santai menanggapi dengan bilang, "Rumah berantakan ada masanya, nanti kita kangen, loh, kalau rumah enggak berantakan lagi." Jadilah saya lebih santai juga, sabodo amat orang mau ngomong apa, yang penting mah si Ayah sudah ridha, hehe. Terus sekarang kalau sudah berantakan banget, eh dia orderin orang yang bisa bantu beberes via aplikasi, "Biar Bunda enggak capek, Ayah orderin, ya. Bunda butuh berapa orang untuk bantu Bunda?" Gimana enggak makin cinta coba?
Saat tetangga sebelah main ke rumah....
Alhamdulillah Allah kasih suami yang pengertian. Saya hanya tinggal mengukur diri saja. Sanggup atau tidak. Pernah kalau lagi luang dan rajin beberes, sampai lewat tengah malam juga dilakukan. Tapi, kalau saya sudah bilang, "Bunda enggak sanggup, Yah!" dijamin si Ayah yang akan ambil alih. Flashback ke awal pernikahan, saya menyerah untuk handle keuangan. Wakakakk, parah, ya! Sebelum menikah saya pernah mencatat flow keuangan saya, terus kapok karena defisit. Setelah itu enggak pernah catat-catat lagi. Lalu, punya suami seorang financial planner bersertifikat, sayang kan kalau enggak diberdayakan? Hahaa...
Begitulah hidup, kita hanya perlu mengukur diri dan merasa bahagia dengan apa yang dijalani. Jangan ngoyo mencapai sesuatu kalau kita sendiri enggak mampu. Jangan, daripada membebani pikiran dan malah jadi enggak waras, ya kan? Lakukan saja apa yang kita bisa dengan bahagia. Kalau beberes saya juga tetap melakukannya hanya saja saya menurunkan standar. Tidak mungkin rumah selalu rapi, padahal anak-anak sebegitu aktifnya. Seperti kata si Ayah, in sya Allah nanti ada masanya rumah kami selalu rapi.
=================
Saya: "Ayah, lihat deh, begitu kali ya, kalau punya anak laki-laki? Bunda harus siap ngejar sana-sini."
Suami: "Iya," sambil nyengir lebar.
Saya: "Makanya Allah kasihnya dua anak perempuan, ya, Yah, karena memang Bunda enggak sanggup itu jagainnya. Bayangin kalau ada dua yang kayak begitu.."
Suami: ngakak
Di waktu lain,
Suami: "Ya Ayah kan gak bisa (maaf) cebokin anak-anak. Nanti deh kalau anaknya laki-laki ayah yang bersihin." (selama ini memang hanya saya yang handle urusan begituan)
Saya: "Serius? Bener, yaaa. Kok Bunda enggak yakin, ya? Mungkin karena itu ya Allah belum kasih anak laki-laki."
Suami & saya: ngakak berbarengan
#Writober #RBMIPJakarta #IbuProfesionalJakarta
Komentar
Posting Komentar