Bicara tentang Kematian dan Kehidupan Setelahnya
Bismillahirrahmannirrahiim...
Saya pernah mendapat pertanyaan yang membuat saya tidak bisa menjawabnya. Pertanyaan dari Adia, gadis kecil saya yang waktu itu usianya sepertinya belum genap tiga tahun. Adia bertanya,
Terus terang, saya tidak bisa berkata-kata saat itu. Saya tidak menyangka Adia akan melontarkan pertanyaan seperti itu. Lalu, Adia bertanya kembali hal yang sama. Beberapa kali, hingga saya menimpalinya dengan senyuman tipis, "Nanti, Sayang ... kalau Allah sudah bilang waktu Bunda selesai di dunia." Apa yang terjadi kemudian? Anak-anak menangis memeluk saya.
Sungguh, kematian adalah sebuah keniscayaan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qurán, "Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kemudian hanya kepada Kami kamu dikembalikan."(QS. Al-Ankabut: 57). Rasulullah saw juga mengajarkan kepada kita untuk mempersiapkan bekal akhirat karena sesungguhnya itu adalah perjalanan yang panjang. Sebagaimana hadits Rasulullah saw dari Ibnu ‘Umar. Ia berkata, “Aku pernah bersama Rasulullah saw, lalu seorang Anshor mendatangi beliau, ia memberi salam dan bertanya, 'Wahai Rasulullah, mukmin manakah yang paling baik?' Beliau saw bersabda, 'Yang paling baik akhlaknya.' 'Lalu mukmin manakah yang paling cerdas?', ia kembali bertanya. Beliau bersabda, 'Yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik dalam mempersiapkan diri untuk alam berikutnya, itulah mereka yang paling cerdas.'" (HR. Ibnu Majah no. 4259. Hasan kata Syaikh Al Albani).
Bicara tentang kematian mungkin akan membuat kita bergidik. Namun, syariat Rasulullah saw juga harus kita imani, termasuk memperkenalkan anak-anak pada kematian dan kehidupan setelah hari akhir. Terus terang, saya ataupun suami tidak pernah melarang anak-anak untuk datang takziah. Takziah pertama Askana adalah saat usianya belum genap 1,5 tahun; saat ia belum bisa berjalan. Saya lupa persisnya untuk Adia. Akan tetapi, pengenalan tentang hidup, mati, surga, dan neraka sudah kami mulai sejak usia mereka dua tahun; tapi tentu masih terbatas, ya. Pernah suatu kali Askana tetiba menangis saat sedang membaca buku dan bilang, "Kakak pengen ketemu Rasulullah, Bunda!" Masya Allah, nyess rasanya.
Ya Allah, jagalah fitrah keimanan itu selau ada dalam hati anak-anak hamba. Engkaulah sebaik-baik Penjaga dan Engkaulah Yang Maha Membolak-balikkan hati.
Menurut saya, konsep iman kepada hari akhir dan kehidupan setelahnya harus sudah mulai diperkenalkan kepada anak-anak sejak dini, tentu dengan batasan. Maksudnya, bukan berarti kita leluasa menceritakan azab kubur atau siksa neraka, ya. Tidak seperti itu. Akan tetapi, anak-anak perlu diberi pemahaman untuk apa mereka hidup di dunia, Siapa yang akan mereka tuju nantinya, apa yang akan menolong mereka nanti, dan bagaimana seharusnya mereka hidup di dunia ini. Konsep seperti itu yang harus ditanamkan dalam benak anak-anak. Agar nantinya anak-anak siap ketika kita tidak lagi bersama mereka karena sejatinya itulah tugas orang tua.
Oya, bicara tentang kematian juga akan mendorong anak lebih mandiri, loh. Buktinya, omongan saya "Nanti kalau bunda meninggal, masa Kakak enggak makan. Laper terus, dong," ketika Askana meminta saya untuk menyuapinya atau "Nanti kalau Bunda enggak ada, masa adek enggak pakai baju?" saat Adia enggan menggunakan baju sendiri selalu ampuh memotivasi mereka untuk lebih mandiri, hehe.
Hal yang menjadi catatan penting lainnya adalah pengenalan konsep tentang kematian dan kehidupan setelahnya harus diberikan dalam keadaan yang menyenangkan agar anak-anak mempersiapkan diri menyambut hari dimana mereka akan bertemu dengan Rabbnya.
Wallahuálam, semoga kita bisa selalu berkumpul dalam kebaikan hingga memasuki jannahNya. Jadi, pertanyaan apa yang paling Teman-teman takutkan?
Referensi:
Tuasikal, Muhammad Abduh. 22 September 2012. https://rumaysho.com/2822-kematian-yang-kembali-menyadarkan-kita.html. Diakses tanggal 15 Oktober 2019 pukul 16.58 WIB.
#Writober #RBMIPJakarta #IbuProfesionalJakarta
Saya pernah mendapat pertanyaan yang membuat saya tidak bisa menjawabnya. Pertanyaan dari Adia, gadis kecil saya yang waktu itu usianya sepertinya belum genap tiga tahun. Adia bertanya,
"Kapan Bunda meninggal?"
Terus terang, saya tidak bisa berkata-kata saat itu. Saya tidak menyangka Adia akan melontarkan pertanyaan seperti itu. Lalu, Adia bertanya kembali hal yang sama. Beberapa kali, hingga saya menimpalinya dengan senyuman tipis, "Nanti, Sayang ... kalau Allah sudah bilang waktu Bunda selesai di dunia." Apa yang terjadi kemudian? Anak-anak menangis memeluk saya.
Sungguh, kematian adalah sebuah keniscayaan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qurán, "Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kemudian hanya kepada Kami kamu dikembalikan."(QS. Al-Ankabut: 57). Rasulullah saw juga mengajarkan kepada kita untuk mempersiapkan bekal akhirat karena sesungguhnya itu adalah perjalanan yang panjang. Sebagaimana hadits Rasulullah saw dari Ibnu ‘Umar. Ia berkata, “Aku pernah bersama Rasulullah saw, lalu seorang Anshor mendatangi beliau, ia memberi salam dan bertanya, 'Wahai Rasulullah, mukmin manakah yang paling baik?' Beliau saw bersabda, 'Yang paling baik akhlaknya.' 'Lalu mukmin manakah yang paling cerdas?', ia kembali bertanya. Beliau bersabda, 'Yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik dalam mempersiapkan diri untuk alam berikutnya, itulah mereka yang paling cerdas.'" (HR. Ibnu Majah no. 4259. Hasan kata Syaikh Al Albani).
Bicara tentang kematian mungkin akan membuat kita bergidik. Namun, syariat Rasulullah saw juga harus kita imani, termasuk memperkenalkan anak-anak pada kematian dan kehidupan setelah hari akhir. Terus terang, saya ataupun suami tidak pernah melarang anak-anak untuk datang takziah. Takziah pertama Askana adalah saat usianya belum genap 1,5 tahun; saat ia belum bisa berjalan. Saya lupa persisnya untuk Adia. Akan tetapi, pengenalan tentang hidup, mati, surga, dan neraka sudah kami mulai sejak usia mereka dua tahun; tapi tentu masih terbatas, ya. Pernah suatu kali Askana tetiba menangis saat sedang membaca buku dan bilang, "Kakak pengen ketemu Rasulullah, Bunda!" Masya Allah, nyess rasanya.
Ya Allah, jagalah fitrah keimanan itu selau ada dalam hati anak-anak hamba. Engkaulah sebaik-baik Penjaga dan Engkaulah Yang Maha Membolak-balikkan hati.
Menurut saya, konsep iman kepada hari akhir dan kehidupan setelahnya harus sudah mulai diperkenalkan kepada anak-anak sejak dini, tentu dengan batasan. Maksudnya, bukan berarti kita leluasa menceritakan azab kubur atau siksa neraka, ya. Tidak seperti itu. Akan tetapi, anak-anak perlu diberi pemahaman untuk apa mereka hidup di dunia, Siapa yang akan mereka tuju nantinya, apa yang akan menolong mereka nanti, dan bagaimana seharusnya mereka hidup di dunia ini. Konsep seperti itu yang harus ditanamkan dalam benak anak-anak. Agar nantinya anak-anak siap ketika kita tidak lagi bersama mereka karena sejatinya itulah tugas orang tua.
Oya, bicara tentang kematian juga akan mendorong anak lebih mandiri, loh. Buktinya, omongan saya "Nanti kalau bunda meninggal, masa Kakak enggak makan. Laper terus, dong," ketika Askana meminta saya untuk menyuapinya atau "Nanti kalau Bunda enggak ada, masa adek enggak pakai baju?" saat Adia enggan menggunakan baju sendiri selalu ampuh memotivasi mereka untuk lebih mandiri, hehe.
Hal yang menjadi catatan penting lainnya adalah pengenalan konsep tentang kematian dan kehidupan setelahnya harus diberikan dalam keadaan yang menyenangkan agar anak-anak mempersiapkan diri menyambut hari dimana mereka akan bertemu dengan Rabbnya.
"Dan barang siapa yang datang kepada Allah dalam keadaan beriman dan telah mengamalkan amal-amal shaleh, maka merekalah yang akan mendapatkan derajat yang paling tinggi." (QS. Thaha; 75)
Wallahuálam, semoga kita bisa selalu berkumpul dalam kebaikan hingga memasuki jannahNya. Jadi, pertanyaan apa yang paling Teman-teman takutkan?
Referensi:
Tuasikal, Muhammad Abduh. 22 September 2012. https://rumaysho.com/2822-kematian-yang-kembali-menyadarkan-kita.html. Diakses tanggal 15 Oktober 2019 pukul 16.58 WIB.
#Writober #RBMIPJakarta #IbuProfesionalJakarta
Komentar
Posting Komentar