Rahasia Charlie
Sudah sepekan aku tinggal di rumah baru ini. Bang Udin memanggilku dengan Charlie. Ah, Charlie, nama yang mencerminkan kegantenganku. Jujur saja, dibeli oleh Bang Udin merupakan keberkahan untukku, karena sepertinya Bang Udin orang yang baik. Semoga saja harapanku menjadi kenyataan. Aku selalu melihat Bang Udin didatangi banyak orang, entah apa pekerjaannya. Masa bodoh, lah. Yang penting dari sejak aku datang, aku selalu makan enak.
Aku sebenarnya heran dengan penampakan diriku sebagai ayam ganteng saat ini. Aku mengingat dengan jelas sebelum dibeli Bang Udin, bulu-buluku berwarna merah kehitaman. Pola berwarna kuning ada di bagian punggungku, bulu hitam di bagian dada. Tapi setelah bang Udin memberiku ramuan yang entah apa gerangan, warna buluku berubah. Yang kuingat hanyalah aku diletakkan di dalam wadah besar yang diberi ramuan itu. Lalu bang Udin mengaduk-adukku dalam wadah tersebut dengan tangannnya, seperti mengaduk keripik yang dibumbui. Aku kini berubah dari jengger, paruh, bulu, kulit, kaki, bahkan pantatku menjadi hitam legam. Ada apa dengan diriku sebenarnya?
Pagi ini seperti biasa kulihat Bang Udin sibuk di ruang tengah. Ia mulai menata meja, botol-botol air minum, dan nampan besar berwarna emas yang baunya, duh, aneh sekali. Terkadang ia menunduk dan termenung sejenak sambil berbicara tak jelas. Ah, biarlah, yang penting hari ini aku tetap makan enak di rumah mewahku ini. Kemarin badanku rasanya habis diputar dan dibalik-balik di dalam wadah. Aku lelah dan ingin tidur. Eh, tapi tunggu dulu, siapa pria muda berbadan tegap yang menghampiri Bang Udin itu?
Pria itu datang dengan wajah kusut dan berminyak persis plastik bekas gorengan. Yaiks, aku tak suka bau orang itu! Firasatku tidak enak. Kugeser pantat legamku sedikit menjauh. Belum sempat mendarat sempurna, Bang Udin mengangkat dan memutar-mutar tubuhku di atas nampan emas hingga kepalaku terasa pusing. Sejurus kemudian, awwww! Sehelai buluku pun dicabutnya dan diberikan kepada pria asing itu. Kutatap Bang Udin tak percaya dan membatin teganya kau, Bang!
"Bulu ini... buluh perindu. Kilik sedikit ke perempuan itu dan dia akan jadi milikmu," pesan Bang Udin dengan percaya diri. Ah, Bang Udin ini ada-ada saja! Mana mungkin buluku punya kekuatan ajaib, aku kan hanya ayam biasa. Lihat saja nanti, pasti laki-laki itu akan kembali lagi untuk protes.
Hari-hari pun berlalu, beberapa orang yang pernah kutemui berdatangan lagi. Namun, kali ini aku tidak diajak masuk ke ruangan Bang Udin. Tapi sayup-sayup kudengar, mereka merutuk padanya.
"Aam..puun, Bang, ada cara lebih jitu untuk mendapatkan perempuan yang Abang suka itu." Bang Udin berbisik pada mereka.
Seketika pria itu mengeluarkan dompet tebalnya sambil tertawa, "Hahaha, Siti Maemunah, kau akan jadi milikku, Sayang."
Mereka mendekat ke arahku dan tiba-tiba satu temannya mengambilku dengan paksa.
"Petookkk...petoookk!!" Aku tak dapat menghindar. Pria tegap ini memegangiku dengan kuat dan kami pergi dari rumah Bang Udin.
"Ingat, Bang … namanya Ki Manteb, di pengkolan Jalan Sawo, ya!" teriak Bang Udin sambil mengibaskan lembaran uang di tangannya.
"Kamu punya foto perempuan itu, nggak?" tanya lelaki tua berkumis yang tinggal di pengkolan Jalan Sawo.
"Ada Ki, ini foto Siti Maemunah binti Rohadi," jawab pria tegap tadi sambil tersenyum puas.
"Mantap ... sebelum menyembelih si cemani, saya cuci tangan dulu ya..," sahut Ki Manteb seraya menuju wastafel.
Hati ini mulai kacau karena sebentar lagi riwayatku tamat, tega betul Bang Udin mengirimku ke sini. Aku makin memelas saat tangan kiri Ki Manteb menggerayangi leher dan punggungku sementara tangan kanannya menggenggam golok.
"Lho.. jari saya kenapa jadi hitam begini?" sahut Ki Manteb keheranan ketika hampir menyembelihku.. Ia kemudian menaruh golok dan menggosok-gosokkan serbet ke leher dan tubuhku. Sepertinya, tangan basah Ki Manteb melunturkan ramuan yang dilumurkan Bang Udin pada buluku tempo hari.
"Gunung gundul… Ini bukan ayam cemani!" Ki Manteb berteriak kesetanan.
Aku tahu apa itu ayam cemani, karena aku punya seekor teman yang berbulu cemani. Tapi aku hanya ayam kampung biasa, darahku merah kehitaman, buluku juga berwarna-warni, tidak seperti temanku itu.
Ki Manteb melepaskan genggamannya dari tubuhku. Kesempatan ini kugunakan untuk menggeliat kabur. Masih terngiang rutukan dan cacian dari mulut Ki Manteb dan laki-laki yang membawaku tadi. Sekilas kulihat, laki-laki itu membawa golok sambil tergesa-gesa berjalan ke rumah Bang Udin.
***
Oleh: Efi Femiliyah, Rezky Ayu Andira, Shalikah, Yuliana Samad, Bebby Jovanka, Dwiagris Tiffania, Annisa M. Gumay, dan Yeptirani Syari
***
Cerpen ini dibuat untuk memenuhi #tantanganmenuliscerpenkeroyokan dari #rumahbelajarmenulisipjakarta
Komentar
Posting Komentar