Saya Tidak Suka Si Perampas!



Saya terinspirasi membuat tulisan ini setelah membaca link di atas yang dishare oleh salah satu teman dunia maya saya pada halaman mukanya. Ironis memang. Meski kematian merupakan hak prerogatifNya, tapi..bukankah kita bisa memilih dengan cara apa kita akan menghadapNya? Dan dalam hal ini, saya selalu merasa bahwa mereka (a.k.a si perokok) telah merampas hak orang-orang di sekitarnya untuk menghirup udara sehat. Well, mungkin agak sarkas, tapi saya rasa itu julukan tepat, si perokok adalah si perampas, sadar ataupun tidak.

Kadang saya ngedumel sendiri dalam hati, harusnya kalian membungkus muka kalian dalam plastik ketika sedang merokok, hingga asap yang kalian buat itu hanya dapat dihirup oleh kalian saja! Hehe, saya memang agak sarkas kalau menghadapi hal yang saya tidak suka. Kadang juga saya berpura-pura batuk, membuka lebar-lebar kaca jendela angkot, menutup hidung selama perjalanan atau hal apapun yang bisa membuat si perampas itu jadi salah tingkah dan mematikan rokoknya tanpa harus diminta. Dan saya paling tidak suka ketika si perampas beraksi di dalam angkot saat hujan turun, pengap taauuu!!

Saya jadi teringat kisah saya di masa SMA. Saya dulu dekat dengan seorang lelaki, dia sangat bersahabat ketika diajak bicara. Kami sering menghabiskan waktu untuk duduk bersama di pojokan kelas dan mengobrol tentang apapun. Tak peduli lagi bahwa baju seragam kami akan kotor luar biasa karena kami duduk di lantai yang kadang terlewat untuk disapu petugas piket. Saya dan dia juga tak jarang melewatkan pelajaran dan menukarnya dengan mengobrol di lantai itu. Eh tidak, kami tidak melewatkan pelajaran, toh kami tetap berada dalam kelas itu, hanya tidak terlihat oleh sang guru. Huehe, maafkan ya, Bapak dan Ibu, saya akui saya nakal! Pernah suatu ketika, dia menghisap harumnya sebatang rokok. Saya kaget dan mulai menanyainya sejak kapan dia merokok. Ternyata sudah tiga tahun lalu, tapi sekalipun dia tidak pernah merokok di depan saya. Saya mengerti, dan suasana tiba-tiba menjadi hening. Saya mulai memutar otak untuk bicara hal serius padanya.
"Boleh minta sesuatu?" saya memecah keheningan itu.
"Apa?" jawabnya sambil mencium aroma rokok tersebut.
"Berhenti merokok, bisa?", saya agak kurang yakin.
Dia menoleh pada saya,"kenapa?"
Saya tidak bisa menjawab, dan saya hanya menangis sambil berkata,"hanya pengen kamu berhenti merokok!"
Dan..itu terakhir kalinya saya melihat dia memegang rokok. Dia berhenti total.

Lain kisah remaja, lain juga kejadian di kantor saya. Sudah lebih dari setengah tahun lalu, saya berada di bawah kendali atasan saya yang baru. Dia ternyata seorang perokok berat dan membuat saya harus menghisap asap rokok paling sedikit tiga kali dalam sehari, terbatuk-batuk karenanya, menggunakan masker sepanjang hari juga sesak napas. Helloo,,ini ruangan ber-AC, pak! Please deh..

Selama dua minggu saya berada dalam kondisi seperti itu, saya tidak tahan lagi.
"Pak, saya mau pindah dari sini!" pinta saya setengah nekat.
"Waduh, neng, nanti siapa yang gantiin?" dia memanggil saya dengan 'neng'.
Dan setelah saya mengajukan permohonan itu, saya pun diizinkan untuk pindah ke ruangan lain yang lebih 'bebas' dari asap rokok. Ya, saya merasa bahwa tubuh saya berhak untuk mendapat udara yang lebih sehat dan saya harus menghormati haknya itu.

Setelah itu, akhir-akhir ini dia berusaha membujuk saya untuk kembali di sana. Dan saya menjawab,"Saya mau balik kalau Bapak berhenti merokok! Gimana, Pak?"
Dan dia tertawa kecil mendengar jawaban saya, "Ah, kamu mah neng..".

Dan masalah rokok ini menjadi salah satu syarat saya dalam memilih pasangan hidup. Hehe. Tidak bermaksud mendeskriminasi atau apa, seorang perampas memang bisa berubah, tetapi saya menyadari bahwa butuh azzam yang kuat untuk itu. Ayah saya dulu seorang perampas, tapi setelah beliau memiliki anak, beliau berhenti total. Itu bisa, sangat bisa! Tapi saya tidak mau bersusah-susah untuk membujuk suami saya nanti untuk berhenti merokok. Apalagi saya juga tidak mau hasil kerja keras kami dibuang sia-sia untuk membeli rokok-rokok itu, toh masih ada hal lainnya yang lebih bermanfaat untuk diurusi. Betul bukan? 


Begitulah saya. Saya memang agak sensitif akan masalah ini. Tapi, ini pilihan saya, untuk lebih menghargai tubuh saya dan menjaganya supaya tidak rusak ketika menghadap padaNya. Comment ça avec vous? 


Wallahu'alam..



 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

How I Met My Husband

Lima Tips yang Perlu Diperhatikan Orang Tua saat Memilih Sekolah Anak

Joker: Seorang Pribadi yang Penuh Luka