Belajar Ikhlas dari Salman..

Kali ini saya ingin menuliskan sebuah kisah yang saya baca bulan Oktober lalu. Tentang cinta.. 


================


Salman Al Farisi memang sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mu'minah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai sebuah pilihan dan pilahan yang dirasa tepat. Pilihan menurut akal sehat. Dan pilahan menurut perasaan yang halus, juga ruh yang suci. 


Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia berpikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah berbicara untuknya dalam khitbah. Maka disampaikanlah gelegak hati itu kepada sahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abud Darda'.

"Subhanallah.. wal hamdulillah..", girang Abud Darda' mendengarnya. Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua sahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.


"Saya adalah Abud Darda', dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya," fasih Abud Darda' bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni.

"Adalah kehormatan bagi kami", ucap tuan rumah, "Menerima Anda berdua, sahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang sahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami." Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati.


"Maafkan kami atas keterusterangan ini", kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. "Tetapi karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. namun jika Abud Darda' kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan."


Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis.


Tapi saya juga mengatakan indah karena satu alasan; reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa memang dia belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar ia bicara.


"Allahu akbar!", seru Salman, "Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abud Darda', dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!"


Tak mudah menjadi lelaki sejantan Salman. Tak mudah menjadi sahabat setulus Abud Darda'. Dan tak mudah menjadi wanita sejujur sahabiyah yang kelak kita kenal sebagai Ummud Darda'. Belajar menjadi mereka adalah proses belajar untuk menjadi orang yang benar dalam menata dan mengelola hati. Lalu mereka pun bercahaya dalam pentas sejarah. Bagaimanakah kiranya?


...



[Salim A. Fillah,  "Menjaga, Menata, lalu Bercahaya", Alia Pesona Muslimah, Oktober 2010, p.18.]


================


Membaca kisah ini saya menjadi malu. Bagaimana bisa Salman berlapang hati seperti itu? Ia bisa dengan mudahnya untuk turut berbahagia padahal pinangannya baru saja ditolak. Tak habis sampai di situ, wanita yang ditaksirnya menikah dengan sahabatnya, bahkan ia bersedia untuk menjadi saksi pernikahan itu. Saat itu juga, tak berjangka waktu. Subhanallah.. itulah indahnya cinta dan persaudaraan dalam islam.


Lalu, bagaimana dengan saya? Apakah saya bisa seperti Salman? Apakah saya bisa menempatkan "cinta" di posisi yang seharusnya? Cinta yang membawa kebahagiaan, cinta yang bukan menjadi penyakit. Ataukah saya hanya terbelit dengan perasaan kebanyakan orang bernama wanita? Yang sedih ketika kehilangan, yang marah ketika tersakiti, yang lalai ketika sedang merona. Allahu akbar, sungguh Dia yang Maha Membolak-balikan hati manusia.. Itulah mengapa Rabiah al-Adawiyah memilih melajang untuk menjaga kesucian cintanya pada Sang Khaliq.  

Yaa..hidup itu mengenai penerimaan, pengertian, terlebih lagi mengenai pemahaman. Seperti apa yang dituliskan Tere Liye dalam novelnya:

"bahwa hidup harus menerima... penerimaan yang indah 
bahwa hidup harus mengerti... pengertian yang benar
bahwa hidup harus memahami... pemahaman yang tulus
tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, dan pemahaman itu datang
tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan"

[Tere Liye, Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, p.196.]



Saya percaya bahwa setiap orang memiliki gen kebaikan dalam dirinya, bahwa setiap orang bisa beribadah dengan benar pun menyemai kebaikan. Saya juga percaya bahwa ilmu ikhlas dapat dipelajari oleh siapapun dan sabar tiada memiliki batas. 


C'est la vie, 
Selamat belajar di universitas kehidupan! =)


*Tulisan ini juga saya buat untuk seseorang. Nyu, terima kasih ya. Emmh, untuk babak yang ini, kamu pasti bisa. Yuuk, kita belajar bersama..! =D

Komentar

  1. subhanallah., tulisannya bikin semangat untuk ikhlas...^_^

    BalasHapus
  2. terima kasih, maya. semoga selalu dapat berbagi hikmah! =)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

How I Met My Husband

Lima Tips yang Perlu Diperhatikan Orang Tua saat Memilih Sekolah Anak

Joker: Seorang Pribadi yang Penuh Luka